Dalam melegitimasi hal tersebut, kemenangan partai politik disetiap level pemilihan kabuptan kota dan provinsi tidak terlepas dari keberadaan kepala daerah sebagai petahana. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di provinsi Gorontalo namun menjadi bagian dari integrasi politik nasional kontenporer. Celakanya lagi buta kita sebagai negara bangsa adalah menempatkan sesuai yang bukan para koridornya. Banyak yang merasa pandai, dari kepandaiannya mereka merasa merasuki semua isu atau masalah menyangkut dengan eksistensi negara terutama mengenai netralitas birokrkasi
Alternatif Netralotas Birokrasi Dalam Perspektif Hulondalo
Dengan tidak memungkiri apa yang dikemukakan oleh Riigs tentang birokrasi dinegara berkembang dengan tipe salah, kesimpulan sederhana yang dapat dikemukakan adalah parktek penyelenggaraan birokrasi dinegara berkebang seperti Indonesia tidak terlepas dari konteks prismatic ala Riggs (1996) Dengan demikian, lingkungan kontekstual sangat erat kaitanya dengan praktek penyelenggaraan birokrasi. Bagi Indoensia, persoalan ini tidak dapat disampingkan, dimana praktek birokrasi di daerah tertentu akan sangat berbeda dengan daerah lain. Atas hal tersebut, praktek kepemimpinan birokrasi transformasional sangat penting dilakukan untuk menjaga netralitas politik birokrasi dalam setiap perhelatan Pemilu.
Dalam kasus Amerika Gyung, Jeong (2016) Serikat Porter, Rogowski (2018) menemukan bahwa masih terdapat pemilih dalam hal ini ASN terfragmentasi lewat basis tradisional antara Partai Republik dan Demokrat. Pemilih ASN memiliki prefernsi politiknya atas kedekatan secara tradisional. Dalam bacaan tentnag keberadaan birokrasi dalam Pemllu, Sukri Tamma (2016) mengungkapkan bahwa pemilu telah menjadi ajang bagi para birokrat lokal dan calon untuk saling menguntungkan dalam mencapai kepentingannya masing-masing. Olehnya itu, birokrasi profesional dan rasional Weberian tidak tercermin dalam praktek birokrasi Indonesia. Terdapat netralitas yang parsial yang dibentuk atas dasar patronase antara kepala daerah dengan para politisi serta birokrat di daerah yang membuat birokrasi sulit untuk netral dalam Pemilu. Temuan tersebut tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Zuhro. (2021) bahwa birokrasi Indonesia masih rentan terhadap intruksi politik kekuasaan untuk melanggengkan status quo dalam Pemilu maupun Pilkada. Menonjolnya keterlibatan birokrasi seiring dengan keikutsertaan petahana dalam pemilihan umum nasional dan daerah. ASN mengalami disorientasi dan budaya birokrasi yang masih mempertahankan nilai lama membuat birokrasi tidak efektif dalam mempertahankan profesionalisme dan kenetralan dalam Pemilu