Relevansi Hakikat Kultural Politik dengan Netralitas Politik Birokrasi

Ramli Mahmud
Foto : Doc Dr. Ramli Mahmud, S.Pd.,M.A

Dalam konteks ini, harus disadarai urgenatitas atas lokalitas ke-Indoensia-an bahwa praktek penyeenggaraan pemerintahan dengan berasumsikan pada praktek rasional Weberian merupakan bagian kekeliruan atas penjelmaan praktek birokrasi bagi negara berkembang sepertti Indonesia. Banyak pakar yang mengkritisi Weber, namun dalam kajian otentiknya tidak dapat dipisahkan dari argumentasi yang dibangun oleh Weberian. Begitupun sebalinya, banyak pemikir yang mengkritisi Riigs, akan tetapi dalam argumentasinya tidak terlepas dari model salah birokrasi sala Riigs dalan setiap temuan,. Praktek spertinya mudah dibaca dalam penyelenggaraaan birokrasi khususnya ngera berkembang.

Baca Juga :  Cagub Sulut 2024 Pengamat Politik: Banyak Figur yang Siap Bertarung

Kekehwatrian Betham dan Miftah atas praktek birokrasi di Indoesnia terbukti dalam tataran kontekstual. Dengan mengedepankan apsek teknis, kita kemudian lupa akan subtansi dari independensi dan perilaku birokrasi ketika diperhadapkan dengan Pemilu. Buktinya, netralitas birokrasi sangat dipengaruhi oleh persoalan independensi dan perilaku birokrasi dalam Pemilu. Temuan Hendra Nor tidak berbeda dengan temuan yang lainnya, Firnas, (2016); Martini (2015); Mudiharta (2018); Wahyudi (2018), Pananrang, Nippi (2021) menyimpulkan bahwa perilaku ketidaknetralan birokrasi di Indonesia sudah terjadi sejak pra kemerdekaan hingga dekade sekarang ini. hingga temuan Edwart Aspinal (2019) pada tahun 2019. Apa yang diasumsiukan oleh beberapa temuan tersebut tanpa mengilhami hakikat kultural   masyarakat atau birokrasi lokal yang dapat dijadikan sebagai pengangan untuk menselaraskan independensasi birokrasi dalam setiap perhelatan di daerah.

Baca Juga :  Uji Bacaleg PKB, Prof AS Hikam Bicara Tantangan Demokrasi

 Negara dan generasinya sering lupa akan esksitensi kultural politik dalam penjelmaan kontestasi politik serta apa yang dicita-citakan oleh negara, yang mana birokrasi wajib netral dalam Pemilu. Kita lupa akan konsistensi nilai manusia sebagai mahkuk politik. Artinya ASN dihargai hak politiknya untuk memilih, namun dibatasi partisipasi politik mereka. Simalakama bagi posisi ASN sebagai birokrasi, disisilan hirarki seperti apa yang di asumsikan oleh Weber sebagai rasionalitasnya tidak terbukti bagi negara berkembang. Selama ASN tidak dicabut hak politiknya untuk memilih, mereka selalu terjebak dalam narasi politik praktis. Dalam prakreknya, ASN selalu dimanfaatkan untuk kemenangan calon atau partainya kepala daerah.